PRAGMATISME REALITAS POLITIK MASYARAKAT AKAR RUMPUT

(Dede Farhan Aulawi),

Tidak terasa pergantian hari demi hari terus berganti, dan hari H pencoblosan suara dalam kontestasi politik 2024 semakin dekat. Persaingan politik tampaknya semakin ketat dalam rangka menarik simpati untuk memperoleh dukungan suara. Semua tentu sah saja selama tidak melanggar aturan main yang sudah ditetapkan. Siapapun harus patuh dan taat aturan main untuk mencerminkan pribadi yang taat azas. Pribadi seperti itu akan memegang disiplin terhadap komitmen apa yang telah dijanjikan, karena ia memiliki rasa ‘TAKUT’ untuk mempertanggungjawabkan setiap janji yang terucapkan.

Untuk itulah saya selalu berusaha untuk memenuhi undangan sebagai narasumber dalam pendidikan politik, baik dalam format SEKOLAH POLITIK ataupun MADRASAH POLITIK. Inilah bentuk konkrit kewajiban warga negara untuk mencerdaskan masyarakat di bidang politik. Politik adalah instrumen perjuangan konstitusional untuk mewujudkan idealisme dalam mensejahterakan rakyat. Namun politik juga bisa terlihat kotor dan menjijikkan jika dijadikan alat pengkhianatan terhadap bangsa dan negaranya.

Oleh karena itu, berbagai terobosan inovatif di bidang politik patut diapresiasi sebagai salah satu upaya meningkatkan taraf kecerdasan dalam kesadaran politik dan sekaligus mitra dalam berdemokrasi. Itulah terobosan para pelanjut estafet kepemimpinan jamiyyah di saat ‘keringnya’ inisiatif-inisiatif penyadaran politik bagi bangsa yang banyak dinilai sedang ‘sakit’ saat ini.

Beberapa tokoh masyarakat saat ini banyak yang memberikan pandangan bahwa tingkat kesadaran politik masyarakat sungguh sangat menghawatirkan. Tingkat kesadaran politik ini tidak terlepas dari dua faktor yang saling berpengaruh, yaitu KUALITAS PENDIDIKAN dan TINGKAT PENGHASILAN.

Sebagian mereka yang tinggal di perkotaan maupun di pedesaan dengan kualitas pendidikan dan tingkat ekonomi yang rendah terbukti sangat rentan dengan rayuan-rayuan yang bersifat material. Mereka mengambil keputusan dalam kehidupannya bukan berdasar pikiran, tetapi lebih kepada tuntutan kebutuhan ‘perutnya’.

Pada akhirnya di saat menjelang pemilu saat ini, mereka mudah digiring ke arah pilihan politik yang dikondisikan sesuai dengan kompensasi materi yang mereka dapatkan bukan hasil dari pemikiran dan pemahaman terhadap kandidat yang benar-benar memiliki komitmen untuk diwujudkan. Bukan janji yang terbengkalai dan dijawab dengan janji lagi, karena laparnya perut rakyat hanya bisa dikenyangkan dengan MAKANAN bukan janji manis sebuah UCAPAN.

Coba perhatikan berbagai pemberitaan, baik di media sosial, media cetak maupun media elektronik lainnya, dengan mudah kita bisa melihat dimana secara terang-terangan para tim lapangan peserta kontestasi pemilu menggunakan kekuatan kampanye berupa bantuan-bantuan materi, seperti sembako, uang, dan lain sebagainya. Alur cerita materialistik ini terus berulang dan seolah telah menjadi pola dan kebiasaan politik, sehingga calon peserta favorit adalah mereka yang memiliki UANG dan bukan mereka yang teguh dalam perjuangan.

Tidak sedikit kandidat yang memiliki idealisme yang luhur harus mentok dalam realitas politik di lapangan. Ketika mereka terjun di lapangan, banyak masyarakat yang menanyakan ‘amplop’ ketimbang mendengar visi, misi dan program yang akan disampaikan. Ada juga kandidat yang di setiap pertemuan yang melibatkan banyak massa, tidak lupa menyediakan sejumlah ‘amplop’ dengan dalih buat pengganti uang transportasi. Kedatangan mereka dalam forum kampanye bukan semata-semata atas kesadaran politiknya untuk menyimak dan menilai orasi kandidatnya, tetapi tergantung atas kompensasi materi atas kehadirannya.

Sebetulnya pada kondisi ‘sakitnya politik’ seperti ini, edukasi politik menjadi sangat penting dan harus menjadi prioritas agar kesadaran dan kedewasaan politik semakin meningkat. Hal ini harus dilakukan bukan hanya untuk masyarakat perkotaan saja, tetapi juga di pedesaan bahkan pedalaman dan pegunungan serta pulau terluar dan terpencil.

Dengan demikian, rakyat akan memiliki sistem imun politik yang tahan dan tidak mudah terserang berbagai hama politik, baik yang dilakukan secara sistematis dan bertahap maupun apa yang dikenal dengan ‘serangan fajar’ melalui Tim Pemenangan mereka. Bahkan mereka yang masuk kategori level ‘tokoh’ pun sangat rentan dengan godaan dan rayuan politik dalam segala bentuk manifestasinya, baik uang maupun iming-iming jabatan. Itulah sebabnya jelang pemilu ini, aneka format silaturahmi politik maupun dialog politik semakin intens dilakukan. Tentu tidak salah melakukannya, namun akar rumput sering bertanya, “Kenapa silaturahmi dilakukan saat ada maunya ?”.

Manuver dengan cara pendekatan yang tidak mendidik dan mencerdaskan di atas celakanya masih berperan secara signifikan memenangkan hati mereka. Kondisi inilah yang menjadi pe-er (pekerjaan rumah) bersama bagaimana cara mengatasi dan memperbaikinya ? Akankah terus berlanjut ? Mau sampai kapan ? Marilah kita bangun kesadaran kolektif agar rakyat semakin cerdas dalam berdemokrasi.

Itulah ilustrasi singkat pragmatisme realitas politik di level akar rumput, bahkan sampai pucuk daunnya. Bukan hanya bagi saudara-saudara kita yang berpendidikan rendah, tetapi juga warga yang berpendidikan tinggi. Termasuk mereka yang menjadi ‘motor’ atau bagian dari mesin politik kaum ‘Penghamba Kekuasaan’ yang tidak saja melabrak konstitusi dan prinsip-prinsip demokrasi, tetapi mereka juga telah kehilangan ‘hati nurani’ bahwa berpolitik itu secara rasional adalah memuliakan manusia dan sekaligus sebagai warga negara. Sementara dalam perspektif spiritual, berpolitik itu adalah bentuk ibadah dan saat pencoblosan di pemilu nanti adalah saatnya ujian dalam menjatuhkan pilihan sesuai dengan keyakinan terbaiknya .

Untuk itulah para cendekiawan politik, sejatinya dituntut untuk menjadi pionir sebagai lokomotif perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah tantangan realitas dalam membangun struktur dan arsitektur politik yang mencerahkan. Bukan membodohi rakyat yang penting asal menang. Kemenangan seyogianya tidak dijadikan tujuan semata, karena tujuan yang baik harus dilakukan dengan cara yang mulia.

Inilah secuil opini politik yang dipersembahkan untuk memperbaiki ornamen politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semoga bermanfaat untuk kepentingan bersama. Aamiin YRA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *