Cibinong, Bogor. Jpkpnnews.co.id.- , JPKP NASIONAL Bogor raya menanggapi tentang perihal WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) yang setelah di pelajari dan di pahami dari berbagai sumber
Belakangan ini, ada fenomena baru di media massa, yaitu munculnya iklan ucapan selamat kepada Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota atas opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang diperoleh dari Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI). Predikat ini seolah-olah membanggakan dan harus diketahui masyarakat, begitu pesan yang disampaikan. Bagi yang belum memahami kriteria pemberian opini, predikat itu bisa menjadi pencitraan positif, bahwa roda pemerintahan telah dikelola secara akuntabel bahkan bisa jadi terbebas dari korupsi.
Pemberian opini merupakan bentuk apresiasi dari BPK atas hasil pemeriksaan laporan keuangan, disamping pemberian rekomendasi lainnya. Laporan keuangan yang disusun oleh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah merupakan media akuntabilitas keuangan yang disajikan sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).
Sebagai gambaran, di jajaran pemerintah daerah, menyusun laporan keuangan memerlukan perjuangan ekstra. Kelemahan dalam sistem pengendalian intern dan keterbatasan sumber daya manusia yang paham akuntansi pemerintahan sebagai penyebabnya. Keruwetan semakin menjadi karena ditunggangi kepentingan politik legislatif dan eksekutif dalam penggunaan anggaran yang cenderung menabrak aturan. Atas semua itu laporan keuangan harus tetap disajikan secara akuntabel. Ini bukan hal yang mudah.
Euforia opini WTP
Dua tahun belakangan ini dan diprediksi bakal terjadi ke depan, euforia untuk memperoleh opini WTP dari BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), Laporan Keuangan Kementerian Lembaga (LKKL) dan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) menjadi isu yang santer di kalangan Bupati, Walikota, Gubernur, dan Menteri bahkan sampai Presiden. Ini semua terkait dengan target pemerintah, bahwa pada tahun 2015 opini WTP harus mencapai 60%.
Professional judgment dalam hal ini judgment auditor BPK, akan bisa berada pada jurang yang lebar, pada saat kompetensinya tidak memenuhi standar yang disyaratkan. Sebagai pengadil yang baik, maka kompetensi dalam memahami permasalahan pengelolaan keuangan negara/daerah menjadi penting, supaya aturan yang berlaku bisa ditafsirkan dalam substansi bahasa yang sama dengan penyaji laporan keuangan (auditan).
Pengalaman juga sangat berperan dalam menentukan judgment guna mempersempit ruang persepsi. Karena itu, dalam laporan keuangan seringkali dikenal istilah kewajaran penyajian informasi keuangan yang berarti tidak absolut. Dan kewajaran yang sifatnya relatif inilah yang seringkali menjadi ajang perdebatan dalam pemberian opini.
Rekomendasi perbaikan sistem
Pencegahan praktik korupsi juga tidak bisa dikesampingkan dari peran BPK. Karena, dari hasil pemeriksaannya seharusnya bisa memberikan rekomendasi yang mengarah pada perbaikan sistem dan bukan hanya mengungkap “keberhasilan” karena menemukan kerugian negara trilyunan rupiah. Kesalahan yang fundamental bisa diatasi dengan perbaikan sistem. Oleh karena itu, dengan pemeriksaan reguler tahunan yang dilakukan sudah sewajarnya BPK dapat memastikan bahwa perbaikan sistem atas rekomendasi yang diberikan tahun-tahun sebelumnya telah ditindaklanjuti.
Menjadi tugas kita bersama untuk mencegah praktik perburuan opini dengan menghalalkan segala cara. Apalah jadinya kalau pemberian opini WTP itu hanya akan menjadi komoditas untuk meningkatkan gengsi para pejabat publik dalam menjalankan amanah yang diberikan rakyat. Masih lekat dalam ingatan, penyuapan Rp400 juta kepada auditor BPK agar memberikanopini WTP atas laporan keuangan tahun 2009 Pemerintah Kota Bekasi. Hal ini bisa menjadi modus, karena pengeluaran itu relatif kecil dibanding dengan insentif milyaran rupiah yang bakal diterima dari Menteri Keuangan apabila memperoleh opini WTP.
Kata Tukul Arwana, segala sesuatu jangan hanya dilihat dari casing-nya. Opini WTP yang diperoleh bukan hasil instan, tetapi melalui proses terstruktur dengan mengedepankan pembenahan fungsi dan sistem pengendalian intern. Disisi lain, para auditor tidak hanya wajib memiliki kompetensi yang handal, tetapi juga harus beretika tinggi, dan bermahkotakan kejujuran.
Indikator keberhasilannya bisa dircerminkan dari keberadaan KPK. Apabila fungsi pengawasan internal/eksternal pemerintah telah efektif serta fungsi penyidikan oleh kepolisisan dan kejaksaan telah mendapat pengakuan publik maka keberadaan KPK tidak diperlukan lagi.
(Red).